Kamis, 27 Maret 2008

Soal aksi Para Guru

Menakar Akar Demonstrasi Para Guru
Fritz Fios *

Belakangan aksi demonstrasi ribuan guru yang berafiliasi dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) semakin marak. Kelompok masyarakat yang siklus habitusnya sebatas ruang kelas, kini berani turun ke jalan untuk berdemo. Tak peduli apa pun penilaian yang dialamatkan kepada mereka. Yang penting aspirasi mereka sampai ke ranah publik. Sudah gawatkah nasib pendidikan negeri ini sampai-sampai para guru dalam bungkusan seragam Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) turun berjemur panas di jalanani?
Bung Hatta dulu pernah mengatakan kalau sampai para guru sudah turun ke jalan untuk berdemo, itu sinyal bahwa kondisi dalam suatu masyarakat sudah sedemikian parah dan gawatnya. Merujuk kata-kata bijak bapak pendiri bangsa ini, kita setuju kondisi dunia pendidikan bangsa ini tidak kondusif dan berada di pinggir kegalauan (on the brink of chaos).

Stigma Negatif
Aksi jalanan para guru mengusung satu tuntutan dasar agar pemerintah merealisasikan anggaran 20 % untuk pendidikan dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN) yang telah diundangkan. Namun sayang, aksi luhur para guru ini mengorbitkan pandangan beraneka macam. Sebuah media nasional jelas-jelas menuding aksi para guru ini sudah keterlaluan karena tiga alasan. Pertama, membuat anak didik terlantar di sekolah. Kedua, jalanan ibu kota dibikin macet. Dan ketiga, seharusnya perjuangan guru menempuh jalur diplomasi saja.
Boleh-boleh saja kita menilai apa saja terhadap kelompok profesi yang dijuluki pahlawan tanpa tanda jasa ini. Sah-sah saja mereka yang mengajarkan nilai-nilai moral-etis ini disorot tak etis seperti itu. Namun kita perlu bertanya, sitgma seperti ini apa sudah fair dan pada tempatnya?
Dalam sistem negara yang menganut paham demokrasi, demonstrasi merupakan salah satu jalur penyampaian aspirasi. Dari sisi tilik ini, aksi demo para guru merupakan alat komunikasi politik. Karena itu apapun alasannya, kita harus mengatakan sebagai komponen masyarakat republik ini, aksi para guru mengamanahkan bahwa demokrasi di negeri ini belum mati. Demokrasi negeri ini tetap hidup dalam nurani bening para guru yang hendak mengendus kebenaran. Kebenaran dalam konteks perjuangan para guru adalah peningkatan kesejahteraan mereka.

Verifikasi Logis
Aksi para guru bukan dilakukan atas dasar zero argumentasi apalagi irasionalitas. Sebab mereka orang-orang berpendidikan yang sangat rasional. Aksi turun ke jalan apalagi dalam jumlah yang signifikan ini menyiratkan amanah bahwa apa yang mereka suarakan penting dan mendesak serta telah menjadi komitmen bersama. Komitmen bersama ini melahirkan solidaritas bersama untuk berjuang bersama-sama mencapai tujuan.
Signifikansi dan urgensitas aksi para guru tentu dilakukan atas dasar argumentasi rasional. Secara logis, aksi para guru dapat diverifikasikan dalam silogisme berikut ini. Jika semua warga Negara Indonesia berhak menyampaikan aspirasinya dalam bentuk demonstrasi itu dianggap benar, dan bahwa para guru termasuk warga negara Indonesia itu benar, maka kesimpulannya benar bahwa para guru berhak juga menyampaikan aspirasi kepada pemerintah dengan cara demonstrasi. Di titik inilah segala klaim dan stigma negatif terhadap aksi para guru runtuh secara rasional. Sebab kita tidak boleh menyorot peristiwa aksidental seperti jalanan macet dan lain-lain akibat demo para guru itu. Titik penerawangan kita harusnya lebih dalam menyorot hal substansial di balik aksi para guru itu.

Nurani Birokrat Tumpul
Jalur diplomasi dinilai sebagai jalur tidak popular oleh para guru, sebab kontraproduksitf dan mandul. Sudah seringkali mereka menyampaikan aspirasi lewat jalur formal-diplomatis tapi hasilnya nihil. Retorika pemerintah (termasuk para anggota Dewan kita) sebatas mendengar, menampung aspirasi dan selesai di situ. Mereka lupa melaksanakannya. Atau toh kalau sampai melaksanakannnya, pelaksanaannya tidak efisien karena birokrasinya korup dan tumpul nurani. Uang yang seharusnya dipakai untuk anggaran pendidikan menjadi tidak dialokasikan secara baik dalam tataran realisasi. Aliran dana anggaran untuk pendidikan seperti yang tersketsa dalam dokumen peraturan dan perundangan tidak sampai pada sasaran. Uang itu tidak sampai kantung para guru tapi nyasar di kantung para operator manajerial pendidikan yang korup. Ketika realisasi anggaran itu tak sesuai antara idealisme dan fakta, muncul kesadaran kritis para guru untuk memberontaki sistem tak becus ini. Inilah akar sebenarnya yang berada di balik gerakan para guru kita.

Perlu Respon Moral
Pemerintah tentu tak boleh diam terus dengan tuntutan para guru ini, apalagi sampai mengadopsi adagium anjing menggonggong kafila berlalu. Perlu diupayakan langkah-langkah konkrit memenuhi aspirasi para guru ini. Sebab hal yang kontradiktif jika kita menuntut sumber daya manusia (SDM) handal masa depan sementara lalai mengurus nasib para pencipta SDM masa depan itu sendiri. Bukankah ini lelucon yang layak ditertawakan?
Pemerintah perlu melakukan langkah tegas dengan melakukan respon moral. Langkah ini dapat dikonkritkan dengan jalan menerapkan secara konsisten besaran anggaran 20 % seperti yang sudah tertulis dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Respon moral ini perlu dilakukan pemerintah dengan melakukan kontrol ketat terhadap para birokrat/manajemen pendidikan itu. Sebab kalau undang-undang sudah mensahkan suatu aturan, tapi aturan itu belum diterapkan secara ideal, maka hambatan itu perlu dibersihkan agar anggaran itu mengalir deras menuju ke kantung para guru. Jika tidak bangsa ini memang akan terus dicap sebagai bangsa yang sudah mengalami kematian moral berkepanjangan. Dan yang terpenting agar pemerintah tidak terus terkejut jika para guru yang nota bene penegak moral ini turun ke berdemo di jalanan.

* Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta

Tentang Banjir Tahunan Jakarta

Menggugat Tanggung Jawab Ekologis Kita
Oleh: Fritz Fios


Banjir yang merendam Jakarta belakangan benar-benar bikin warga takut dan panik. Tidak sedikit orang mengungsi mencari tempat huni lebih aman. Ada korban nyawa malah. Kerugian materi jangan dibilang lagi. Triliunan rupiah raib akibat banjir ini. Benar-benar bencana raksasa bagi negeri ini. Muncul aneka wacana dari pelbagai disiplin ilmu membedah masalah banjir ini. Intinya ada dua: pertama, konstruksi teknis dan kedua, kotbah humanis-ekologis. Tulisan ini masuk kategori wacana kedua.
Fenomena banjir lumrah dalam kehidupan, laiknya tsunami dan tanah longsor. Meski demikian, ia mesti tetap disikapi secara bijak. Caranya tiada lain selain melakukan perenungan kritis atasnya. Perenungan penting untuk mendeteksi adakah kesalahan (sebab) manusiawi yang memicu munculnya (akibat) banjir? Sesudahnya, mari kita sama-sama mengubah diri, melakukan metanoia (pertobatan) dalam relasi dengan alam. Fokus perenungan soal gugatan atas tanggung jawab ekologis kita.
Istilah ekologi diorbitkan pertama kali oleh Haeckel pada tahun 1866. Kata ini merupakan kata serapan dari bahasa Inggris ecology yang diturunkan lagi dari bahasa Yunani oikos (tempat tinggal) dan logos (ilmu). Jadi, ekologi merupakan cabang ilmu biologi yang mempelajari relasi timbal balik organisme-organisme dan hubungan organisme-organisme itu dengan lingkungan hidupnya. Organisme-organisme itu terdiri dari manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Bicara soal fakta, jujur saja, paradigma perilaku kita belum mencerminkan tanggung jawab ekologis maksimal. Kita membuang sampah seturut suka. Atau membersihkan lingkungan rumah sendiri, kita menunggu petugas kebersihan alias “pasukan kuning”. Inisiatif kita masih lemah. Kita menebang pohon tanpa reboisasi. Kita doyan menghisap enaknya alam sambil lupa memikirkan kebaikan alam.
Cara kita memperlakukan alam dapat dikerangkakan dalam konsep filosofis filsuf Perancis, Rene Descartes (1596-1650) yang merumuskan manusia modern sebagai “Sang Penguasa dan Penguasa Alam Semesta”. Konsep ini menjadikan manusia sewenang-wenang terhadap alam. Istilah-istilah yang dihidupi manusia adalah menguras alam (eksploitasi) untuk memenuhi kerakusan kita. Alam tidak dihargai sebagai sesama ciptaan Tuhan yang juga bermartabat, tetapi dilihat sebagai objek yang dimanfaatkan demi kebutuhan manusia.
Terhindar dari semua bencana alam (banjir), kita perlu memodifikasi pola relasi yang lebih seimbang dan harmonis dengan alam. Paradigma relasi itu adalah sebuah tanggung jawab ekologis. Ini pilihan yang niscaya kita jika memang tak ingin terus direndam banjir bandang setiap tahunnya.
Paradigma etika ekologis itu tampil dalam tiga tanggung jawab. Pertama, hormat terhadap alam lingkungan. Alam merupakan ciptaan yang sama diciptakan Tuhan seperti halnya manusia. Alam memiliki kualitas kebaikan in se (pada dirinya sendiri). Kualitas itu tampak dalam keindahan dan sifat keibuan alam yang setia menyediakan kebutuhan untuk makhluk hidup. Jika demikian, alam layak dihormati, dihargai, dan dicintai. Manusia mesti mengusahakan alam demi kebaikan alam dan bukan mengikhtiarkan kebinasaannya. Tanggung jawab ekologis mewajibkan manusia menghormati alam. Suatu sikap “sungkan” dan “segan” terhadap alam perlu mengkristal dalam diri manusia.
Kedua, menjaga keseimbangan alam. Keseimbangan artinya adil, tidak berat sebelah. Manusia perlu memandang alam sebagai partner yang memiliki posisi sejajar dengan manusia. Manusia tidak boleh eksploitatif dan arogan terhadap alam. Istilah eksploitasi mesti diganti dengan istilah lebih elegan seperti eksplorasi, integrasi, dan rehabilitasi. Karena istilah-istilah ini menunjukkan kepemihakan pasti manusia terhadap kebaikan dan masa depan alam. Manusia perlu mengolah alam tanpa lupa mengabaikan kebaikan alam. Menebang pohon untuk membangun mall raksasa atau perumahan elit misalnya, boleh, namun sesudahnya perlu menanam kembali pohon pengganti agar hutan lestari.
Ketiga, mengembangakan sikap cinta lingkungan hidup. Alam semesta mengkristalkan kekayaan alam yang tak ternilai bagi makhluk hidup. Ketika Tuhan menciptaan alam, Tuhan memperuntukkan semuanya bagi manusia. Dari alamlah manusia hidup dan mempertahankan eksistensinya. Konsekuensinya, alam perlu disayang dan dicintai. Alam perlu dicintai karena ia berharga bagi masa depan manusia. Tanpa alam, manusia punah dan binasa. Maka tanggung jawab ekologis menuntut manusia mencintai lingkungan hidup hic et nunc (kini dan di sini). Artinya, manusia mesti memberi diri, memikirkan nasib masa depan alam dan berbuat konkrit demi kebaikan alam.
Di atas segalanya, kita pun perlu mendekonstruksi doktrin filsafat Descartes tadi tentang konsep manusia sebagai penguasa atas alam. Manusia bukan penguasa mutlak alam. Alam tidak pernah dimiliki seutuhnya oleh manusia. Pemilik alam adalah alam itu sendiri dan Sang Khalik. Manusia tidak berhak sedikitpun atas alam, tidak berkuasa mutlak apalagi memiliki alam secara sempurna. Tanggung ekologis mendesak manusia mencipta surga pertama di dunia sebelum malaikat maut datang memisahkan roh dari raga kita dan menerbangkannya menuju surga abadi di alam nun sana.* * *


































Memaknai Valentineday

Cinta, Mutiara yang Ternodai

Oleh: Fritz Fios

Cinta, sebuah kata yang suci, keramat serentak mengkristalkan banyak pesonanya dalam hidup. Kesucian kata cinta terletak pada bobot nilai teologis yang disandangnya. Persisnya, cinta sesungguhnya anugerah Allah semata. Sejak awal kisah penciptaan, cinta telah menjadi suatu amanah Allah untuk dihayati setiap insan pengembara di planet bumi ini. Kisah cinta Adam dan Hawa di taman Eden sepanjang sejarah manusia telah menjadi kisah cinta perdana penuh pesona yang direstui Allah, Khalik semesta. Dengan cinta, Allah telah menciptakan manusia dan kosmos.Dan ternyata semuanya baik dan indah adanya. Dengan cinta yang sama Allah menaungi ziarah dan eksistensi kosmos dalam gerakan pulang kembali ke asal: Allah sendiri.
Cinta, dalam sisinya yang lain, mengandung kadar kekeramatan yang layak disegani. Kekeramatan cinta tampak dalam nuansa kedalaman yang dihayati orang-orang yang sedang, pernah atau bakal mencintai seseorang yang dijumpainya secara kebetulan dalam pengalaman pertemuan antarmanusia. Kekeramatan cinta itulah yang membuat orang tak mudah mengucapkan kata cinta. Sebab sekali kata cinta terucap di bibir, saat itu juga kata yang sama menuntut suatu pertanggungjawaban dan pembuktian nyata. Lantas ketika cinta itu hanya sebatas bibir tanpa pernah terealisasi dalam ranah praksis, cinta tampil mengukuhkan diri sebagai kekuatan keramat yang merusakkan suatu ikatan relasional antarmanusia. Jika saya mengatakan saya mencintai engkau saat ini, saat ini juga saya sedang membuat janji, suatu janji untuk mencintai engkau tanpa batas waktu. Dan janji cinta itu memang seharusnya diungkapkan dari suatu kedalaman batin yang kukuh. Tetapi ucapan aku cinta kamu itu serentak menantang saya untuk tetap mencintai kamu selanjutnya apapun risiko dan konsekuensi yang harus kutanggung. Sekali mengungkapkan cinta kepada kamu, saya ditodong untuk commit mencintai engkau selamanya. Nilai cinta yang abadi ini pula yang menambah bobot keramat pada kata cinta. Mampukah manusia menghayatinya? Kekeramatan cinta juga tampak dalam suatu konsekuensi ketika cinta itu gagal dihayati dalam hidup. Cinta akan berubah menjadi benci. Kebencian adalah lawan dari cinta. Karena itu hati-hatilah dalam mengungkapkan kata cinta. Obral cinta secara sembarangan tanpa ketinggian komitmen untuk melanggengkannya dalam hidup hanya akan mendatangkan petaka bagi para pengobral cinta. Mengungkapkan kata cinta tanpa kemampuan membuktikan cinta hanya akan menikung pada lelucon yang layak ditertawakan.
Sebagai suatu nilai, cinta berkarakter abadi. Keabadian cinta tampak dalam harmoni, kebaikan, kebahagiaan yang menanti di ujung suatu kata cinta yang terucap dan dihayati secara konsisten. Cinta itu misterius, suatu kekuatan yang seringkali tak mampu didefinisikan secara memuaskan nalar dan nurani. Dan ketika manusia coba mendefinisikannya, cinta didefinisikan secara tak sempurna. Atau bahkan cinta itu hanya ditangkap sepotong maknanya saja sesuai situasi batin dan prasangka nalar para penghayatnya. Maka ketika definisi cinta ditanyakan kepada setiap orang yang mencinta, jawaban berbeda akan bermunculan. Dan keberbedaan definisi ini pula yang akhirnya menambah pesona kata cinta itu.
Keterpesonaan cinta bukan pertama-tama terletak pada kata cinta itu sendiri. Tetapi keterpesonaan cinta itu tampak dalam diri orang-orang yang menghayatinya dalam ranah praksis. Maka cinta bukanlah suatu definisi abstraksional. Cinta adalah aktus, perbuatan, penghayatan, implementasi, kekonkritan. Kedalaman kadar cinta itu tergantung dari para penghayatnya. Pun kesuksesan cinta bukan pada seberapa banyak definisi yang ditelurkan budi atau seberapa laksa kata yang dituturkan bibir. Indikasi kedalaman dan kesuksesan cinta terletak pada aku cinta kamu dalam perbuatan dan bukan aku cinta kamu dalam kata-kata bualan kosong melompong penuh obralan palsu memuakkan.
Pesona cinta dalam nuansanya yang paling dalam terletak pada positivisme kata cinta itu sendri. Cinta sesungguhnya suatu kekuatan irasional yang dirasakan di horison hati setiap pecinta. Kekuatan irasional ini bekerja secara spektakuler dalam dinamika sejarah dunia dan manusia untuk melanggengkan kehidupan. Cinta bersifat memelihara, menyatukan, membahagiakan, menghidupkan, menciptakan harmoni, memunculkan kedamaian, membuka fajar optimisme. Ketiadaan cinta dalam hidup memunculkan kehancuran dan penghancuran atas kehidupan itu sendiri. Dan kehidupan adalah durasi waktu yang dihayati setiap peziarah hidup, siapa saja yang menyandang predikat pecinta dalam hidup.
Ketika roh cinta raib dalam kehidupan, pembinasaan satu sama lain muncul sebagai kekuatan yang ditakuti. Ketika cinta tak sempat dilanggengkan dalam hidup, institusi perkawinan menjadi berantakan atau dua sahabat karib tiba-tiba saja saling bermusuhan dan memusuhi satu sama lain tanpa ikhtiar penyatuan kembali. Ketika cinta salah dihayati atau ditafsir salah oleh para pencinta, cinta sudah tererosi pada aktus seksualitas murahan ala prostitusi dan pemerkosaan terhadap perempuan atau bocah ingusan belum cukup umur. Cinta ternodai kesejatiannya karena melorot menjadi hawa nafsu belaka murahan.
Kaum muda yang sedang dimabuk asmara adalah golongan yang paling sering melakukan skandal dan penghianatan paling tragis atas cinta atas nama cinta. Pembuktian tesis ini mendapatkan realisasinya ketika retorika aku cinta kamu digombalkan sang lelaki kepada wanita kekasihnya untuk mendapatkan kenikmatan tubuh indahnya. Dan skandal cinta itu pun semakin parah dilakukan ketika sang wanita mengimani rayuan gombal aku cinta kamu sang pacar sebagai sesuatu yang harus ditanggapi dengan aktus ilegal di luar institusi perkawinan. Di sinilah cinta sejati gagal dihayati secara konsisten oleh kedua insan yang berkasih-kasihan itu.
Cinta sejati seharusnya tercermin pada sikap respek dan hormat di antara orang- orang yang saling mencinta. Setiap relasi cinta yang dihayati dalam hidup mestinya bermuara pada kebaikan dan kebahagiaan para penghayat cinta. Kesejatian cinta adalah keadilan cinta. Keadilan cinta adalah ikhtiar untuk saling memberikan kasih tanpa pamrih, tanpa pertimbangan picik, tanpa sikap oportunis di antara orang-orang yang mencinta. Keadilan cinta menuntut orang untuk menghayati model cinta yang benar, cinta yang lurus, cinta yang positif, cinta yang konstruktif, cinta tanpa kepura-puraan. Malahan keadilan cinta menuntut orang untuk berkorban habis-habisan demi kebahagiaan orang yang dicintai semata. Kesejatian cinta itu adalah korban sehabis-habisnya untuk kebaikan orang yang dicinta. Dan korban cinta mengandaikan suatu ikhtiar yang praktis, bukan yang abstrak. Bukan juga idealisme kosong tetapi suatu yang riil terasa dalam nurani. Cinta sejati itu korban untuk dia yang lain, dia yang dicintai, dia yang dikasihi hingga selamanya. Korban termasuk di dalamnya keberanian memangkas egoisme dalam diri yang selalu menjadikan orang lain sebagai obyek eksploitasi. Karena itu cinta sejati memang bukan barang murahan ibarat barang obral di pasar. Cinta sejati itu mahal, dia mutiara yang mengorbitkan keharmonisan dalam hidup. Kehilangan dan keternodaan cinta dalam hidup menciptakan disharmoni. Orang-orang akan terus saling membunuh, perceraian dan selingkuh jalan terus, pemerkosaan makin menjadi-jadi, barisan pasangan hamil di luar nikah semakin panjang. Dan cinta menjadi teracuni. Ketika cinta teracuni, manusia menciptakan neraka dalam hidup ibarat menyiapkan lubang maut untuk dirinya sendiri sebelum Allah Pemberi Cinta memisahkan roh dari raga. Jadilah pencinta sejati dalam hidup. Selamat ber-Valentine Day 2005.

Penulis, pemerhati masalah kaum muda









Rabu, 26 Maret 2008

Keprihatinan pendidikan (Refleksi Kasus IPDN)


IPDN: Kampus Diktator?
Oleh: Fritz Fios *

Kasus matinya mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Sumedang, Cliff Muntu, semakin menambah deretan panjang daftar mahasiswa di kampus itu yang tewas lantaran dianiaya rekan mahasiswa sendiri. Anehnya, kekerasan dalam kampus itu tak pernah usai. Kita akhirnya mahfum, kekerasan dalam kampus IPDN seolah-olah suatu aporia, soal tanpa penyelesaian. Roh jahat kekerasan rupanya tak mau hengkang dari kampus yang nota bene berandil besar mencetak calon birokrat pemerintahan negeri ini itu. Roh kekerasan masih saja tidur pulas di lingkungan pendidikan tinggi itu. Aneh bin aneh bukan?
Ketika mitos yakinan para penganut pola kekerasan terhadap mahasiswa di lingkungan pendidikan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) merupakan hal wajar-wajar saja, inilah saatnya wajah institusi pendikan itu jadinya corat-marut. Ketika orang mengira pendidikan dengan cara keras ala IPDN dinilai baik dan dapat menciptakan generasi masa depan handal, mitos yakinan itu cuma lelucon yang anakronistik dan layak ditertawakan. Ternyata kekerasan terhadap mahasiswa (anak) di kampus atau sekolah bukanlah metode pendidikan positif-kontruktif, melainkan justru negatif-destruktif belaka. Terapan mekanisme didikan keras cuma akan menuai generasi masa depan yang asosial.
Para mahasiswa yang dipukul dan ditendang di bagian perut oleh para senior selama mengenyam ilmu di bangku pendidikan itu, menggumpalkan dalam diri mereka mata rantai shock psikologis dan kemarahan terpendam tak terputuskan. Ada semacam kekerasan yang terinstitusionalisasi dan intitusionalisasi kekerasan yang begitu kuatnya. Fenomena psikis ini semakin intens ketika cuatan keluar perasaan tak puas menjadi tak mungkin karena anak didik dibayang-bayangi doktrin “harus taat pada senior walau seniornya main tangan besi”. Iklim pendidikan kondusif yang memungkinkan manusia tumbuh normal sebagai pribadi sehat jadinya terhambat.
Pendidikan dengan cara kekerasan cuma menciptakan generasi masa depan yang sakit dan mandul. Kesakitan dan kemandulan anak didik muncul karena mereka dididik dalam iklim pendidikan yang tidak menciptakan peluang bagi mereka untuk berkreasi dan bebas mengekspresikan diri. Konsekuensi logisnya, anak jadinya takut, taat buta tanpa sikap kritis, pura-pura, bermental kecil, dan munafik. Kreativitas dan inisiatif anak jadinya terpasung. Pada gilirannya, situasi ini menghambat perkembangan intelegensi anak secara optimal. Padahal aspek kreativitas urgen dan signifikan di lingkungan pendidikan.
Tahun 1962, Getzel dan Jackson (psikolog pendidikan) pernah menyelidiki korelasi antara kreativitas dan kemampuan intelektual anak. Hasilnya membuktikan bahwa kadar kreativitas tinggi dapat berpengaruh positif pada tingkat kepandaian anak. Tiga tahun sesudahnya (1965), dengan pertanyaan dasar “Apakah kreativitas mempengaruhi perkembangan kepandaian manusia”?, Walack dan Kogan kembali meneguhkan penelitian Getzel dan Jackson. Kedua orang ini pun menyimpulkan bahwa tingkat kepandaian seseorang (di sekolah) tidak cuma ditentukan oleh besarnya kadar intelek (IQ) anak, tetapi juga dipengaruhi oleh kadar kreativitasnya. Semakin tinggi kadar kreativitas anak, semakin tinggi peluang anak berhasil dalam belajar.
Menyelisik fenomena kekerasan di kampus IPDN, kita boleh mengklaim, iklim pendidikan kreatif masih jauh dari panggang api. Yang ada cuma iklim pendidikan diktator alias pola kekerasan militer yang memasung kreativitas. Menjadi apakah nantinya generasi masa depan yang dididik dengan cara diktator seperti ini?
Iklim kreatif harus dilembagakan dalam lingkungan sekolah dan kampus IPDN. Kondisi-kondisi yang memungkinkan kreativitas mahasiswa harus diciptakan dan ditingkatkan terus. Relasi-relasi kreatif harus terus dikembangkan di kampus. Dan relasi kreatif itu pertama-tama harus diciptakan oleh semua entitas dalam kampus IPDN. Semuanya ini difokuskan dalam kerangka dasar penciptaan lingkungan sekolah yang ramah anak.
Kampus IPDN jelas harus siap membenahi diri jika tak mau mati sebelum waktunya alias ditutup. Ideologi sekolah ramah anak merupakan hal yang niscaya di lingkup IPDN. Kondisi ini mesti ditandai dengan adanya hubungan sehat antara senior dengan yunior, dosen dengan mahasiswa. Setiap mahasiswa perlu memandang rekan mahasiswanya sebagai pribadi yang otonom-mandiri sehingga tumbuh rasa penghargaan satu sama lain. Anak yang dihargai akan memiliki kepercayaan diri dan bebas berekspresi tanpa tekanan psikologis dan rasa takut. Kondisi ini memungkinkan anak belajar secara efektif untuk meningkatkan kualitas intelektualnya yang memadai. Jika IPDN hendak mencipta generasi masa depan yang sehat dan pandai, pertama-tama IPDN harus memodifikasi iklim belajar yang kondusif di lingkungan sekolah itu. Cara-cara kekerasan harus dibuang jauh-jauh dari lingkungan IPDN. Inilah saatnya kita menciptakan IPDN sebagai kampus yang ramah anak. Jika tidak, IPDN tetaplah akan mendapat stigma negatif sebagai kampus diktator alias sekolah yang tidak ramah anak.
* Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta